REBUTAN LENGA TALA
Gajahoya nama hutan yang kemudian dibuka oleh Palasara menjadi Negara Hastinapura, diyakini bahwa sebelumnya kawasan tersebut merupakan sebuah kerajaan besar yang bernama Gajahoya atau Limanbenawi. Tidak tahu pasti apa penyebabnya, negara Gajah Oya hilang tak berbekas. Kecuali beberapa situs yang ditemukan seperti misalnya batu ompak dan batu fondasi. Lebih dikuatkan lagi adanya peristiwa mistis dari beberapa orang yang tinggal disekitar hutan, termasuk juga Palasara. Mereka sering ditemui oleh orang tua bermahkota yang mengaku bernama Prabu Hasti. Hasti artinya Gajah, Liman juga berarti Gajah. Orang kemudian menghubungkan dengan nama Gajahoya atau Limanbenawi sebagai nama negara yang diperintah oleh Prabu Hasti. Jika kemudian Palasara membuka hutan Gajahoya dan menjadikannya sebuah keraton, artinya bahwa Palasara.memunculkan kembali sebuah keraton yang telah tenggelam. Sedangkan nama Hastinapura dapat dimaknai dengan hadirnya kembali keratonya Prabu Hasti, yang besar kuat laksana gajah.
Jika demikian gajah Antisura tidak bisa lepas dengan Hastinapura. maka tidak selayaknya jika Semar menghentikan langkahnya, ketika Gajah Antisura akan membawa Puntadewa dan Arjuna menuju Hastinapura. “Sesungguhnya aku tidak melarang Gajah Antisura kembali ke Hastinapura, namun dikarenakan Puntadewa dan Arjuna ada dipunggungnya, itulah yang akan menjadi masalah besar.” Belum waktunya mereka masuk ke Hastinapura. karena saat ini Pandhawa baru dalam pengusiran ke luar keraton.” Yamawidura membenarkan apa yang dikatakan Semar. Walaupun begitu ia menginginkan secepatnya Gajah Antisura kembali ke Gajahan keraton Hastinapura. Tidak menunda waktu, Semar bersama dengan beberapa srati gajah menuntun Gajah Antisura melangkahkan kakinya ke Bumi Hastinapura.
Destarastra tidak begitu senang dengan kembalinya gajah Antisura karena dahulu menolak untuk mengangkat di atas dampar pusaka. Namun tidak demikian dengan Patih Sengkuni.
Seperti biasanya, pagi itu Dalem induk Panggombakan yang sekitarnya banyak ditumbuhi pohon besar kecil nan rindang, ramai oleh kicaunya burung-burung. Teristimewa suara burung prenjak bersautan persis didepan rumah sebelah kanan. Biasanya itu pertanda akan datang seorang wiku, pandhita atau panembahan. Semar meyakini pertanda itu, maka ia bersama para abdi panggombakan mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut tamu agung tersebut.
Keyakinan Semar dalam menanggapi pertanda alam melalui suara burung prenjak menjadi kenyataan. Tak lama kemudian, datanglah Begawan Abiyasa dari Pertapaan Saptaarga. Yamawidura, Kunthi dan Pandhawa tergopoh-gopoh menyambutnya. Kedatangan Begawan Abiyasa sungguh amat tepat, karena kerabat Pandhawa sedang gundah hatinya menyusul pengusirannya dari Negara Hastinapura. Bagaikan air kendi yang telah berusia delapan tahun menyiram kepala dan hatinya. Dingin menyegarkan. Suasana menjadi tenang tentram.
Belum genap sepekan Begawan Abiyasa tinggal di Panggombakan, tiba-tiba suasana damai dihempaskan oleh kedatangan Patih Sengkuni dan para Kurawa. Dengan alasan karena terdorong oleh kerinduannya kepada sauadaranya yaitu para Pandhawa. Namun ternyata itu sekedar basa-basi yang tidak berlangsung lama. Rupanya para Kurawa telah mengatur strategi. Beberapa orang ditugaskan untuk menjauhkan Bima dan saudaranya dengan Begawan Abiyasa. Karena yang menjadi tujuan utama adalah untuk menemui Begawan Abiyasa. Pada mulanya mereka menghaturkan sembah seperti layaknya seorang cucu kepada eyangnya yang bijak. Tetapi apa yang kemudian terjadi? Para Kurawa yang diwakili Patih Sengkuni menanyakan perihal Lenga Tala milik Begawan Abiyasa. “Kami tidak percaya bahwasanya Sang Begawan tidak membawanya. Tidak mungkin Lenga Tala lepas dari dirinya. Karena Lenga Tala merupakan minyak yang mempunuai kasiat luar biasa. Siapa saja yang sekujur badannya diolesi Lenga Tala ia tidak akan terluka oleh bermacam jenis senjata. Oleh karena itu kedatangan kami ke Panggombakan ini untuk memimta Lenga Tala sekarang juga. Jika Sang Begawan Abiyasa mengatakan bahwa Lenga Tala tidak dibawa, kami akan melepaskan semua pakaian yang menempel, untuk membuktikan bahwa Sang Begawan telah membohongi kami! He he he.”
Belum mendapat jawaban, Dursasana mulai melakukan aksinya. Ia dengan cepat menjulurkan tangannya dan menarik ubel-ubel tutup kepala yang dipakai Begawan Abiyasa. Bersamaan itu tampaklah benda bercahaya berbentuk oval, berujud cupu, jatuh dan menggelinding di lantai. Dengan cekatan Dursasana menyahut benda tersebut dan membawanya kabur, seraya terkekeh-kekeh. “Memang benar engkau tidak berhohong hai Abiyasa, bahwa dirimu tidak membawa Lenga Tala. Karena yang membawa adalah aku, hua ha ha” Dursasana berlari sambil menari-nari menimang cupu yang berisi Lenga Tala, diikuti oleh Patih Sengkuni, Duryudana dan beberapa Kurawa. Abiyasa bersama beberapa cantrik tidak mapu berbuat apa-apa. Namun dibalik raganya yang lemah, Sang Begawan Abiyasa mempunyai kekuatan lain yang jauh melebihi kekuatan ragawi manapun, yaitu dengan kekuatan sabda yang keluar dari mulutnya. “Inikah Destrarastra hasil didikkanmu? Apakah engkau tidak cemas bahwa suatu saat perilaku anak-anakmu Kurawa yang diperbuat untukku akan menimpamu pula? Bahkan lebih dari itu, mereka akan beramai-ramai menginjak-injak kepalamu, hai Destarastra. Dan engkau Sengkuni. Karena mulutmulah semua ini terjadi. Oleh karena hasutanmu, mulutmu akan menjadi lebar, selebar badanmu.”
(Herjaka), (Artikel ini diambil dari http://www.tembi.org/wayang/kidung_malam7.htm).
No comments:
Post a Comment