Raden Lesmana Mandrakumara adalah putra Prabu Duryudana di Hastinapura. Ia seorang kesatria agung yang kelak akan menggantikan kedudukan ayahnya. Tetapi ia tidak mempunyai kesaktian sama sekali, sehingga hidupnya senantiasa terhina.
Ia pernah hendak beristrikan Dewi Titisari, putri Sri Kresna, tetapi waktu pengantin akan dipertemukan, ia dipermainkan dan perkawinan itu batal. Dalam perang Baratayudha ia tewas ditangan Raden Angkawijaya.
BENTUK WAYANG
Raden Lesmana Mandrakumara bermata telengan perada. Berjamang dengan garuda membelakang besar, sunting waderan besar membelakang, rambut terurai udalan. Berkalung ulur-ulur, berpontoh dan berkeroncong. Berkain putra lengkap dengan bercelana cindai. Bentuk badan yang kendor dan bentuk mukanya tenang tetapi perlakunya pecicilan.
Parasurama (Sanskerta:, ;Parashurāma Bhārgava) atau yang di Indonesia kadang disebut Ramaparasu, adalah nama seorang tokoh Ciranjiwin dalam ajaran agama Hindu. Secara harfiah, nama Parashurama bermakna "Rama yang bersenjata kapak". Nama lainnya adalah Bhargawa yang bermakna "keturunan Maharesi Bregu". Ia sendiri dikenal sebagai awataraWisnu yang keenam dan hidup pada zaman Tretayuga. Pada zaman ini banyak kaum kesatria yang berperang satu sama lain sehingga menyebabkan kekacauan di dunia. Maka, Wisnu sebagai dewa pemelihara alam semesta lahir ke dunia sebagai seorang brahmana berwujud angker, yaitu Rama putra Jamadagni, untuk menumpas para kesatria tersebut.
Kisah masa muda
Parasurama merupakan putra bungsu Jamadagni, seorang resi keturunan Bregu. Itulah sebabnya ia pun terkenal dengan julukan Bhargawa. Sewaktu lahir Jamadagni memberi nama putranya itu Rama. Setelah dewasa, Rama pun terkenal dengan julukan Parasurama karena selalu membawa kapak sebagai senjatanya. Selain itu, Parasurama juga memiliki senjata lain berupa busur panah yang besar luar biasa.
Sewaktu muda Parasuama pernah membunuh ibunya sendiri, yang bernama Renuka. Hal itu disebabkan karena kesalahan Renuka dalam melayani kebutuhan Jamadagni sehingga menyebabkan suaminya itu marah. Jamadagni kemudian memerintahkan putra-putranya supaya membunuh ibu mereka tersebut. Ia menjanjikan akan mengabulkan apa pun permintaan mereka. Meskipun demikian, sebagai seorang anak, putra-putra Jamadagni, kecuali Parasurama, tidak ada yang bersedia melakukannya. Jamadagni semakin marah dan mengutuk mereka menjadi batu.
Parasurama sebagai putra termuda dan paling cerdas ternyata bersedia membunuh ibunya sendiri. Setelah kematian Renuka, ia pun mengajukan permintaan sesuai janji Jamadagni. Permintaan tersebut antara lain, Jamadagni harus menghidupkan dan menerima Renuka kembali, serta mengembalikan keempat kakaknya ke wujud manusia. Jamadagni pun merasa bangga dan memenuhi semua permintaan Parasurama.
Menumpas kaum kesatria
Pada zaman kehidupan Parasurama, ketenteraman dunia dikacaukan oleh ulah kaum kesatria yang gemar berperang satu sama lain. Parasurama pun bangkit menumpas mereka, yang seharusnya berperan sebagai pelindung kaum lemah. Tidak terhitung banyaknya kesatria, baik itu raja ataupun pangeran, yang tewas terkena kapak dan panah milik Rama putra Jamadagni.
Konon Parasurama bertekad untuk menumpas habis seluruh kesatria dari muka bumi. Ia bahkan dikisahkan telah mengelilingi dunia sampai tiga kali. Setelah merasa cukup, Parasurama pun mengadakan upacara pengorbanan suci di suatu tempat bernama Samantapancaka. Kelak pada zaman berikutnya, tempat tersebut terkenal dengan nama Kurukshetra dan dianggap sebagai tanah suci yang menjadi ajang perang saudara besar-besaran antara keluarga Pandawa dan Korawa.
Penyebab khusus mengapa Parasurama bertekad menumpas habis kaum kesatria adalah karena perbuatan raja Kerajaan Hehaya bernama Kartawirya Arjuna yang telah merampas sapi milik Jamadagni. Parasurama marah dan membunuh raja tersebut. Namun pada kesempatan berikutnya, anak-anak Kartawirya Arjuna membalas dendam dengan cara membunuh Jamadagni. Kematian Jamadagni inilah yang menambah besar rasa benci Parasurama kepada seluruh golongan kesatria.
Bertemu awatara Wisnu lainnya
Meskipun jumlah kesatria yang mati dibunuh Parasurama tidak terhitung banyaknya, namun tetap saja masih ada yang tersisa hidup. Antara lain dari Wangsa Surya yang berkuasa di Ayodhya, Kerajaan Kosala. Salah seorang keturunan wangsa tersebut adalah Sri Rama putra Dasarata. Pada suatu hari ia berhasil memenangkan sayembara di Kerajaan Mithila untuk memperebutkan Sita putri negeri tersebut. Sayembara yang digelar ialah yaitu membentangkan busur pusaka pemberian Siwa. Dari sekian banyak pelamar hanya Sri Rama yang mampu mengangkat, bahkan mematahkan busur tersebut.
Suara gemuruh akibat patahnya busur Siwa sampai terdengar oleh Parasurama di pertapaannya. Ia pun mendatangi istana Mithila untuk menantang Rama yang dianggapnya telah berbuat lancang. Sri Rama dengan lembut hati berhasil meredakan kemarahan Parasurama yang kemudian kembali pulang ke pertapaannya. Ini merupakan peristiwa bertemunya sesama awataraWisnu, karena saat itu Wisnu telah menjelma kembali sebagai Rama sedangkan Parasurama sendiri masih hidup. Peran Parasurama sebagai awatara Wisnu saat itu telah berakhir namun sebagai seorang Ciranjiwin, ia hidup abadi.
Pada zaman Dwaparayuga Wisnu terlahir kembali sebagai Kresna putra Basudewa. Pada zaman tersebut Parasurama menjadi guru sepupu Kresna yang bernama Karna yang menyamar sebagai anak seorang brahmana. Setelah mengajarkan berbagai ilmu kesaktian, barulah Parasurama mengetahui kalau Karna berasal dari kaum kesatria. Ia pun mengutuk Karna akan lupa terhadap semua ilmu kesaktian yang pernah dipelajarinya pada saat pertempuran terakhirnya. Kutukan tersebut menjadi kenyataan ketika Karna berhadapan dengan adiknya sendiri, yang bernama Arjuna, dalam perang di Kurukshetra.
Parasurama diyakini masih hidup pada zaman sekarang. Konon saat ini ia sedang bertapa mengasingkan diri di puncak gunung, atau di dalam hutan belantara.
Versi Pewayangan
Parasurama juga ditampilkan sebagai tokoh dalam pewayangan. Antara lain di Jawa ia lebih terkenal dengan sebutan Ramabargawa. Selain itu ia juga sering dipanggil Jamadagni, sama dengan nama ayahnya.
Ciri khas pewayangan Jawa adalah jalinan silsilah yang saling berkaitan satu sama lain. Kisah-kisah tentang Ramabargawa yang bersumber dari naskah Serat Arjunasasrabahu antara lain menyebut tokoh ini sebagai keturunan Batara Surya. Ayahnya bernama Jamadagni merupakan sepupu dari Kartawirya raja Kerajaan Mahespati. Adapun Kartawirya adalah ayah dari Arjuna Sasrabahu alias Kartawirya Arjuna. Selain itu, Jamadagni juga memiliki sepupu jauh bernama Resi Gotama, ayah dari Subali dan Sugriwa.
Dalam pewayangan dikisahkan Ramabargawa menghukum mati ibunya sendiri, yaitu Renuka, atas perintah ayahnya. Penyebabnya ialah karena Renuka telah berselingkuh dengan Citrarata raja Kerajaan Martikawata. Peristiwa tersebut menyebabkan kemarahan dan rasa benci luar biasa Ramabargawa terhadap kaum kesatria.
Setelah menumpas kaum kesatria, Ramabargawa merasa jenuh dan memutuskan untuk meninggalkan dunia. Atas petunjuk dewata, ia akan mencapai surga apabila mati di tangan titisanWisnu. Adapun Ramabargwa versi Jawa bukan titisan Wisnu. Sebaliknya, Wisnu dikisahkan menitis kepada Arjuna Sasrabahu yang menurut versi asli adalah musuh Ramabargawa.
Akhirnya, Ramabargawa berhasil menemui Arjuna Sasrabahu. Namun saat itu Arjuna Sasrabahu telah kehilangan semangat hidup setelah kematian sepupunya, yaitu Sumantri, dan istrinya, yaitu Citrawati, akibat ulah Rahwana raja Kerajaan Alengka yang pernah dikalahkannya. Dalam pertarungan tersebut, justru Ramabargawa yang berhasil menewaskan Arjuna Sasrabahu.
Ramabargawa kecewa dan menuduh dewata telah berbohong kepadanya. Batara Narada selaku utusan kahyangan menjelaskan bahwa Wisnu telah meninggalkan Arjuna Sasrabahu untuk terlahir kembali sebagai Rama putra Dasarata. Ramabargawa diminta bersabar untuk menunggu Rama dewasa. Beberapa tahun kemudian, Ramabargawa berhasil menemukan Rama yang sedang dalam perjalanan pulang setelah memenangkan sayembaraSinta. Ia pun menantang Rama bertarung. Dalam perang tanding tersebut, Ramabargawa akhirnya gugur dan naik ke kahyangan menjadi dewa, bergelar Batara Ramaparasu.
Pada zaman berikutnya, Ramaparasu bertemu awataraWisnu lainnya, yaitu Kresna ketika dalam perjalanan sebagai duta perdamaian utusan para Pandawa menuju Kerajaan Hastina. Saat itu Ramaparasu bersama Batara Narada, Batara Kanwa, dan Batara Janaka menghadang kereta Kresna untuk ikut serta menuju Hastina sebagai saksi perundingan Kresna dengan pihak Korawa. Kisah ini terdapat dalam naskah Kakawin Bharatayuddha dari zaman Kerajaan Kadiri. (Artikel ini diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Parasurama).
Tak terhitung jumlah golongan satria yang telah dibunuh dengan senjata kapak dan Bargawastranya. Nama Ramaparasu sangat ditakuti oleh segenap satria diseluruh penjuru dunia. Akibatnya setiap ada kabar, bahwa kampung dan kotanya akan dilalui oleh Ramabargawa terjadilah evakuasi yang “semrawut” secara besar-besaran. Pekerti Ramabargawa ini sebetulnya sadis dan kejam, bahkan melanggar sumpahnya sendiri. Mengapa? Ramabargawa telah bersumpah akan membunuh setiap satria yang ia temui karena ia menganggap bahwa golongan satria yang melakukan pembunuhan diklasifikasikannya sebagai pembunuh. Karena itu golongan satria harus dimusnahkan. Ia benci kepada pembunuhan. Nah, disinilah letak ironi dan kalutnya pemikiran Ramabargawa.
Ia lupa bahwa apa yang dianggapnya benar itu sebetulnya malahan justru yang ia kutuk sendiri. Ia lupa bahwa dirinya sendirilah sebagai pembunuh yang sadis, kejam dan tak mengenal perikemanusiaan. Kalau ia konsekwen, seharusnya ia harus membenci dirinya sendiri, bahkan ia harus membunuh dirinya sendiri. Dan memang demikianlah akhirnya yang terjadi atas dirinya.
Pada suatu saat mencapai puncak kecapaian, Ramabargawa lalu istirahat. Ia duduk “ongkang-ongkang” sambil merenungi segala perbuatannya yang sadis itu. Di sinilah terjadi dialog yang dahsyat membentur-bentur dadanya, hampir-hampir ada serangan jantung menyerang dirinya. Ia mulai ragu-ragu dan skeptis atas tindakannya sendiri.
Pikirnya : “Kalau tindakanku ini benar, mestinya tidak lagi dilahirkan golongan satria. Tetapi kenyataannya, walaupun golongan satria sudah banyak yang kubunuh, tetapi toh sampai kini tetap dilahirkan satria, bahkan makin banyak jumlahnya. Kalau begitu mungkin akulah yang salah dan berdosa. Jadi kalau begitu sia-sia belaka pekerjaanku selama ini.”
Demikianlah ia mulai ragu. Pendek kata Ramabargawa mulai bimbang, ragu, dilemma, skeptis, putus asa, “nglokro”, murung, sesak nafas dan mulai ia terjangkit maag, sakit perut, psikosomatik, pening kepala, migraine, tekanan darah tinggi bahkan cholesterol naik sampai 400. Pendek kata terjadi komplikasi, baik dalam fisik maupun dalam mentalnya. Akhirnya ia membenci kepada dirinya sendiri.
Karena ia sudah terlanjur sumpah, bahwa hanya dapat mati oleh tangan Wisnu, maka ia berdiri sambil menyandang senjatanya menantang sejadi-jadinya berteriak mengumpat dan mengaum sebagai harimau lapar dan menghilang dalam kegelapan untuk mencari Wisnu. Ramabargawa ingin membunuh dirinya sendiri, ia mengembaara tak tahu tujuannya. Tak lama kemudian ia mendengar ada seorang raja Agung Binatara di Maespati, Harjuna Sasrabahu namanya. Prabu Harjuna Sasrabahu dipastikan olehnya sebagai penjelmaan Wisnu, karena Sang Raja mempunya ciri-ciri khas sebagai titisan Wisnu. Ia dapat tiwikrama menjadi Brahala, memiliki senjata cakra dan awas, waskita, tajam pandangannya (ngreti sakdurunge winarah), mengerti segala kejadian yang akan datang. Kalau sekarang orang semacam itu namanya “futuroloog”.
Dilain pihak Prabu Harjuna Sasrabahu pada saat itu juga sedang frustasi dilemma, bingung, tidak puas terhadap segala yang ia lihat ia rasakan dan ia alami. Ia telah jatuh dan tertimpa tangga. Karena Patih Sumantri yang ia sayangi telah gugur oleh Rahwana. Isterinya Dewi Citrawati yang ia cintai telah “nglalu” (bunuh diri) oleh tipu Kalamarica. Negara yang dibangunnya telah hancur lebur oleh bencana alam dan perang melawan Alengka. Ia pergi meninggalkan istana mencari mati. Oleh karena ia percaya bahwa hanya dapat mati oleh Wisnu, maka ia juga mencari Wisnu.
Secara lahiriah keputusan Harjuna Sasrabahu adalah suatu keputusan yang konyol. Namun apa yang hendak dikata. Itulah hidup. Harga, derajat dan semat kemuliaan serta kemewahan kadang kala membuat rasa bahagia, tetapi kenyataannya kalau salah penerapannya lebih banyak membawa malapetaka.
Suatu kenyataan, bahwa harta menyebabkan orang menjadi mentala (samapai hati) terhadap sesamanya, yang oleh filsuf Heidegger (Jerman) disebut ” “Homo homini lupus”. Yaitu bahwa sesungguhnya manusia (kalau sudah sampai pada harta, wanita dan kedudukan) merupakan serigala bagi sesamanya. Pendek kata kini Ramabargawa dan Harjuna Sasrabahu “concruent” sama dan sebangun, yaitu sama-sama mencari mati. Yang satu Wisnu dan yang lain mencari Wisnu atau kedua-duanya mencari Wisnu, atau kedua-duanya sama-sama hanya manusia biasa, atau malahan Wisnu kedua-duanya. Jadi dengan demikian kedua-duanya sama-sama mencari dirinya sendiri, apakah itu mungkin? Mungkin sekali, karena Wisnu berada di dalam dirinya sendiri. Bukankah kitab suci mengajarkan : Barang siapa mengenal dirinya sendiri, niscaya mengenal “Tuhannya”.
Kalau demikian halnya, kita telah memulai memasuki wilayah mistik. Memang benar, bahwa perjalanan Ramabargawa dan Harjuna Sasrabahu mencari Wisnu itu melambangkan orang sedang menjalankan “laku” (tao/tarekat). Karena pada hakekatnya mistik adalah suatu cara berjalan dan beramal, untuk sampai berada dekat dan bersatu dengan Sang Penciptanya.
Apakah yang terjadi bila nanti Ramabargawa dan Harjuna Sasrabahu sudah bertemu?
Semula Harjuna Sasrabahu adalah seorang raja agung dari negeri Maespati yang gemah ripah, loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Tetapi kemudian semuanya punah karena salahlangkah dari tingkah polanya sendiri. Ia gandrung mabuk asmara dengan Citrawati putri raja dari negeri Magada. Tetapi, ya ampun permintaannya. Ia mau menjadi permaisuri asalkan disediakan 800 orang putri pengiring yang sama rupa, sama cantik dan sama pula suaranya. Walaupun sudah dipenuhi permintaannya, namun masih kurang puas juga. Ia menghendaki suatu taman Sriwedari yang indahnya seperti taman yang ada di kahyangan. Permintaannya yang tidak masuk akal inipun dipenuhinya juga. Harjuna Sasrabahu segera mengeluarkan surat perintah kepada Menteri kesayangannya, yang bernama Sumantri. Belum sampai Sumantri habis pikir, darimana ia akan mendapatkan dana untuk membangun taman Sriwedari itu, tiba-tiba datanglah Sukasrana, adiknya yang berwajah raksasa, guna membantu Sumantri, Sukrasana yang berwajah raksasa, guna membantu Sumantri, Sukrasana dengan mudah membangun taman Sriwedari, untuk memuaskan nafsu Citrawati.
Keberhasilan Sumantri membuat gembira seluruh kerabat raja. Mulai saat itu mereka hidup dalam kemewahan, bahkan setiap hari mereka bercengkerama dan berpesta pora di taman Sriwedari.
Syahdan pada suatu hari Citrawati bertingkah lagi, Ia ingin mandi dan berenang bersama “maru” dan dayang-dayangnya. Tapi kecewa karena kolam renang taman Sriwedari kering tak ada airnya.
“Kakanda, aku ingin mandi sambil “ciblon”, penuhilah keinginanku.” Demikianlah rayu Citrawati mengadu kepada Harjuna Sasrabahu.
Karena cintanya maka Harjuna Sasrabahu bertriwikrama merubah badannya menjadi seorang raksasa yang maha besar, hanya untuk tidur melintang menghalangi aliran air sungai. Maka terbendunglah air, sehingga terjadi danau buatan yang indah membiru laksana langit di darat. Citrawati bersama maru dan inang-inangnya bersuka ria. Apel, anggur, durian, duku dan segala macam buah-buahan diusung ketempat permandian. Pendek kata berpestaporalah mereka. Sedang Sumantri piket dari jauh untuk berjaga-jaga kemungkinan ada bahaya yang mengancam rajanya. memang benar firasat Sumantri. Tak lama kemudian Rahwana datang. Tatkala ia melihat tubuh cantik Citrawati yang hanya memakai selapis kain tipis menutupi wadinya, tak sabarlah Rahwana, ia ingin segera menculiknya. Tetapi maksud Rahwana dapat digagalkan. Sumantri dapat meremuk kesepuluh kepada Rahwana. Berkat aji Pancasonanya Rahwana tak mati oleh tangan Sumantri, bahkan sebaliknya, Sumantri robek dadanya, karena digigit dan dikunyah-kunyah oleh Rahwana.
Betapa marahnya Prabu Harjuna Sasrabahu, ketika mendengar Sumantri telah mati. Bangunlah ia dari tidurnya dan bangkit menghajar Rahwana. Rahwana diikat dalam keretanya dan ditarik di seret mengelilingi alun-alun negeri Maespati. Rahwana memang belum harus mati oleh Harjuna Sasrabahu. Mengapa? Karena Harjuna Sasrabahu bukan Wisnu lagi. Wisnu telah meninggalkan raganya, akibat pekerti sang prabu itu sendiri. Malapetaka telah menghampiri negeri Maespati. Dewi Citrawati yang dipuja-pujapun bunuh diri karena tipu muslihat Marica, seorang intel Rahwana. Harjuna Sasrabahu lemas, hancur hatinya, mendengar berita kematian istrinya. Ia menggugat kepada Dewa.
Lebih konyol lagi, Harjuna Sasrabahu memutuskan untuk meninggalkan Maespati, lelana brata mencari mati. Rakyat Maespati ditinggalkan dan dibiarkan menderita, akibatnya negara rusak karena keputusannya. Di tengah jalan ia berjumpa dengan Rama Parasu inkarnasi Wisnu yang sebenarnya. Harjuna Sasrabahu diremuk badannya, dan dijuing-juing oleh kapak Rama Parasu sebagai penebus dosa.
Dari cerita tersebut diatas, kita dapat menarik suatu pelajaran, bahwa Harjuna Sasrabahu yang serba seribu itu tentunya nafsu jahatnya pun seribu pula. Artinya, bahwasanya manusia yang selalu menuruti hawa nafsu jahatnya, cepat atau lambat pasti akan kehilangan segala-galanya. Sedangkan kalau dilihat secara rohaniah, keputusan Harjuna Sasrabahu menginggalkan tahta dan mahkotanya kemudian pergi mencari kematiannya itu melambangkan bahwa manusia yang ingin mencapai Nirwana atau kesempurnaan, hendaknya benar-benar berani menginggalkan hidup keduniawian (ascestik = pertapa).
Dalam lakon ini digambarkan Harjuna Sasrabahu mencari Wisnu. Apa yang akan terjadi kalau Harjuna Sasrabahu nanti bertemu dengan Wisnu? Marilah kita ikuti cerita selanjutnya.
Harjuna Sasrabhu yang telah kehilangan segala-galanya sudah berbulan-bulan lamanya mencari mati. Ia manantang, membenci dengan siapa saja yang dijumpainya. Ia pikir mungkin tak salah satu yang dijumpainya adalah Wisnu. Ia lupa bahwa Wisnu yang dicarinya lebih dekat dengan pribadinya. WIsnu ada dalam pusat rahsanya. Bukankah telah diajarkan bahwa:
“Lamun yitna kayitnan kang miyatani. Tarlen mung pribadinipun kang katon tinonton kono”.
Artinya: Asal tetap waspada dan ketengan yang sempurna maka yang tampak hanyalah dirinya sendiri. Demikian ajaran Wedha.
Syahdan, pada suatu saat tiba-tiba Harjuna Sasrabahu dalam perjalanannya terhalang oleh sebuah tubuh yang kekar, tinggi bercawat laksana manusia purba, namun ia memancarkan sinar terangnya.
Maka pikir Harjuna Sasrabahu : “kini aku ketemu Wisnu”.
Sebaliknya Ramabargawa melihat kedatangan Harjuna Sasrabahu yang memancarkan cahaya terang, juga berkata: “Kini aku ketemu yang kucari, Wisnu”.
Setelah kedua-duanya saling berpandangan, maka terjadilah dialog:
- Hai Engkau. Siapakah namamu? Aku adalah Ramaparasu, sudahkah engkau mengenal aku?
- Jawab Harjuna Sasrabahu: “O Engkau, aku telah mendengar namamu. Sungguh tak kuduga dan kusangka aku akan bertemu dengan Engkau, karena Engkau adalah Wisnu yang kucari. Namaku adalah Harjuna Sasrabahu, semula raja di negara Maespati.
Saking gembiranya Ramaparasu tertawa terbahak-bahak katanya:
- Kalau begitu Engkau adalah Wisnu, sekarang lepaskanlah cakramu kepadaku biarkanlah aku mati dan hanya akan mati oleh Wisnu agar supaya aku berada disisimu.
- Harjuna Sasrabahu memotong ucapan Ramaparasu: “Aku adalah Aku, Engkau adalah Engkau. Aku takkan membunuh Engkau, karena Engkau adalah Wisnu yang aku cari.
- Saut Ramabargawa, sambil menantang Harjuna Sasrabahu. “Kalau Engkau tak mau membunuh Aku, Maka akulah yang akan membunuh Engkau.
Ramabargawa dan Harjuna Sasrabahu berhenti berdialog. Kedua-duanya menyiagakan diri untuk melepaskan senjatanya, tetapi Harjuna Sasrabahu menahan senjata cakra dan tidak dilepaskan tali busurnya.
Sebaliknya Ramabargawa dengan sungguh-sungguh melepaskan senjatanya. Bargawastra/kapaknya lepas bersuling membelah angkasa menatap dada Harjuna Sasrabahu belah menjadi dua.
Harjuna Sasrabahu terbunuh rebah ditanah tak bergerak. Kemudian mukswa dengan seluruh raganya ia mencapai Nirwana. Sedang Ramabargawa, sejenak tertegun berdiri tegak dan setelah sampai puncaknya ia berteriak, kalau begitu Aku adalah Wisnu. Wisnu adalah kebenaran. Jadi Aku adalah Kebenaran.
Demikian dialog seorang yang sedang mencari dan bertemu dengan Kebenaran. Seperti halnya Sunan Bonang berdialog dengan Sunan Kali Jaga dan Wujil.
“Mati adalah kebaktian yang paling tepat, dimana tiada lagi dieprhitungkan, O, Wujil, karena orang kembali keasalnya. Jikau kau masih memperhitungkan sesuatu, kau tidak akan menemukan yang kau harapkan. Dan jika kau ingin menemukanNya, maka kau harus merusak badanmu (atau : “nafsu-nafsumu”). Jika engkau telah menemukanNya maka kemauanmu akan manunggal (bersatu) dengan kemauanNya.
Kau akan manunggal dengan DIA ; hanya namanya saja berlainan ; kau akan menjadi satu dalam “rasa” dengan DIA dengan berbeda wujud. Dalam segala hal kau akan manunggal dengan DIA. Sesudah manunggal, dimana kau menyerahkan mati dan hidupmu, kepadaNya, bagimu tidak ada larangan dalam hal pangan dan sandang. Semua kehendakmu menjadi satu dengan kehendakNya. Orang yang telah diampuni, tidak boleh memilih maupun membagi dua (yaitu : membeda-bedakan dalam segala hal), suatu tanda dari manunggalnya kehendak DIA.
Nah, saya kira sekarang menjadi jelas apabila ada orang berkata “Manunggaling Kawula Gusti” persatuan antara manusia dan Tuhan. Dari tamsil tersebut di atas jelas bahwa yang bersatu itu hanyalah kemauannya (cihna tinunggil karsa) atau hanya irada-Nya. Bukan zat-Nya. Tuhan adalah tidak terbatas, sedang manusia adalah terbatas. Tidak mungkin cangkir teh dapat menampung air samudera.
Semoga uraian ini dapat menambah terang dan menjadi jelas kiranya. Keterangan ini tak dapat dijelaskan lebih jauh dari apa yang dipaparkan di atas karena sinengker atau “esoteris”.
Another year, another mixtape from the mighty Blades crew from Newcastle Australia. Not your average hip hop mixtape, its a selection of tracks that have had some influence over the crews history and had some fun with them. Whn the Kelis joint dropped, I could see why they added it in, as it just made sense in this mix. The monkey scratch is clever, and I enjoyed this alot. wrecommended.
RAJAMALA adalah putra angkat Resi Palasara, dari padepokan Retawu dengan Dewi Durgandini, putri Prabu Basukesti raja negara Wirata. Rajamala tercipta dari mala penyakit Dewi Durgandini/Dewi Lara Amis yang tertelan seekor ikan betina.Rajamala terjadi berbarengan dengan saudaranya yang lain, bernama; Kecaka/Kencakarupa, Upakeca/Rupakenca, Setatama, Gandawana dan Dewi Ni Yutisnawati/Rekatawati.Rajamala juga mempunyai tiga orang saudara angkat lainnya yaitu : Bagawan Abiyasa, putra Resi Palasara dengan Dewi Durgandini, Citragada dan Wicitrawiya, keduanya putra Dewi Duragandini dengan Prabu Santanu, raja negara Astina.Rajamala berwatak keras hati, berani, ingin selalu menangnya sendiri dan selalu menurutkan kata hati. |Rajamala sangat sakti, tidak bisa mati selama masih terkena air. Menurut ketentuan dewata, hanya ada lima orang satria yang dapat mengalahkan dan membunuh Rajamala, yaitu: Resi Bisma, Adipati Karna, Resi Balarama/Baladewa, Duryudana dan Bima.Rajamala akhirnya tewas dalam peperangan melawan Bima, yang waktu itu hidup menyamar dinegara Wirata dengan nama Balawa, sebagai tindakan Rajamala yang ingin menjamah Salidri nama samaran Dewi Drupadi.
________________________________________ RADEN RAJAMALA Raden Rajamala anak Begawan Palasara dari perkawinannya dengan Dewi Watari. Raden Rajamala adalah Ksatria di Wirata pada jaman Prabu Matswapati. Ia seorang yang sakti dan tak dapat dilawan uleh siapa pun. Oleh karena ia ingin berhadapan dengan Jagalabilawa yang tak lain adalah Bratasena, anggota keluarga Pendawa nomor dua yang menyaru dengan nama itu. Maka Rajamala pun membuka gelanggang untuk bertarung dan ia sendiri mengajukan diri sebagai jago. Jagalabilawa maju ke gelanggang untuk melawan Rajamala, tetapi tak dapat mengalahkan lawannya, karena Rajamala mempunyai sebuah kolam keramat yang adalah jadian ibunya. Setiap kali Rajamala tewas dan dimandikan air kolam itu hidup kembalilah ia. Rahasia ini kemudian diketahui oleh Pendawa. Lalu Arjuna memasukkan anak panah wasiatnya ke dalam kolam itu. Ketika Rajamala mati dan dimasukkan ke dalam kolam, hancur luluhlah badan Rajamala. Rajamala bermata plelengan, berhidung nyentang (mendongak) serupa haluan perahu, bermulut mrenges (mringis lebih besar), berambut terurai gimbal, berjamang dengan garuda membelakang, bersunting rajamala. Sunting yang serupa ini kemudian menjadi nama pokok, di mana bentuk sunting yang serupa itu disebut sunting rajamala dengan sekar kluwih. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Berkeris hulu gana (serupa kepala orang). Berkain bentuk rapekan. Berkalung bulan sabit tiga susun. Nama Rajamala Untuk Surakarta (Sala), Rajarnala menjadi nama prahu kerajaan, kendaraan Sri Susuhunan di waktu banjir untuk memeriksa segenap daerah yang tergenang air. Nama perahu Rajamala diambil dan nama wayang Rajamala, anak Begawan Palasara dan perkawinannya dengan Watari yang digambarkan berupa kepala wayang Rajamala di haluan perahu. Perahu tersebut terus disimpan di Bengawan Sala, di Langenharjo. Tetapi di musim penghujan, di kala air Bengawan meluap, didayunglah perahu ke kota untuk meninjau penderitaan orang-orang yang rumah-rumahnya dilanda banjir. Sementara itu, sebelum banjir datang, orang-orang sudah menyediakan periuk penanak nasi, air, ikan bandeng cuwik untuk dimakan kemudian, selama ada banjir. Dulu terdapat suatu adat aneh di Sala, yakni bahwa orang bersuka ria praon, naik perahu dengan disertai gamelan, sewaktu-waktu ada banjir. Dengan lain perkataan banjir dijadikan semacam kesenangan. Tetapi sesudah perahu tak banyak lagi digunakan, kepala Rajamala dicopot dan disimpan di dalam museum Sriwedari. Di waktu ada Pasar Malam atau perayaan-perayaan lain, kepala Rajamala sering dipertunjukkan. Kepala perahu itu oleh banyak orang dianggap keramat, hal mana menyebabkan ia disebut Kyai Rajamala. Tetapi sebutan Kyai itu diberikan bukan karena benda tersebut keramat, melainkan karena pada umumnya segala benda kerajaan memang disebut Kyai, malahan sampai-sampai juga Kanjeng Kyai. Kepala Rajamala sudah selayaknya kalau disebut Kanjeng Kyai, bentuk dan rupanya serem. ________________________________________ Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka – 1982, (artikel ini diambil dari http://ki-demang.com/gambar_wayang/index.php?option=com_content&view=article&id=994&Itemid=1003).
Bagi Raden Sumantri melepaskan keterikatan berarti melepaskan rasa kepemilikan. Termasuk rasa kepemilikan terhadap nyawanya. Raden Sumantri tidak melarikan diri dari tanggung jawab. Tuhan adalah Pemilik Tunggal semuanya ini. Menganggap diri sebagai pelaku hanya menunjukkan egonya. Dan, Raden Sumantri bertarung sepenuh hati melawan Rahwana sampai hembusan napas yang terakhir. Raden Sumantri hanya melihat Dia, hanya ada Dia. Dia yang dicintainya dan Dia sedang mengulurkan tangan-Nya.
Raden Sumantri
Dalam Serat Tripama, Sri Mangkunegara IV mengetengahkan moralitas, kepahlawanan, kesetiaan dan dedikasi terhadap bangsa dengan memberikan tiga tokoh wayang yang pantas diteladani. Pemilihan ‘Tembang Dhandhanggula’ merupakan tanda bahwa yang akan disampaikan adalah ‘pituturadiluhung’, nasehat yang sangat luhur, butir mutiara dari salah seorang Master yang lahir di Bumi Pertiwi. Salah satu tokoh yang diketengahkan beliau adalah Raden Sumantri.
Diceritakan bahwa Raden Sumantri adalah anak seorang pertapa yang mematuhi nasehat orang tuanya untuk mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu yang merupakan titisan Batara Wisnu. Cerita tersebut populer di tengah masyarakat dan sering dipentaskan dengan lakon Sumantri “ngenger”. Orang tua dari anak yang “ngenger” yakin bahwa wali yang memelihara putranya adalah perwujudan Ilahi yang akan membimbing putranya ke arah kemuliaan hidupnya. Pada saat mengabdi kepada raja, Raden Sumantri diberi tugas untuk memerangi musuh-musuh kerajaan. Dengan kesaktiannya segala musuh dapat dimusnahkan dan kembali ke kerajaan dengan membawa kemenangan.
Manusia tidak bisa bebas sepenuhnya dari insting hewani. Bagaimana bisa bebas sepenuhnya? Bebas dari sifat-sifat ini, ya berarti mati. Manusia tidak bisa bebas dari hewan di dalam diri, tetapi bisa menjaga kejinakannya. Oleh karena itu manusia harus sadar untuk mengendalikan hewan di dalam diri. Demikian uraian dalam BHAJA GOVINDAM Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Dalam ketidaksadarannya, Raden Sumantri mempertanyakan, kenapa dia dan bukan Sang Prabu yang berperang sendiri. Namun, setelah Sang Prabu menunjukkan kesaktian yang sangat tinggi yang tidak ada bandingannya, dia pun sadar dan tunduk terhadap Sang Prabu. Sang Prabu dengan penuh kasih mengingatkan, “Seorang ksatriya yang suka melakukan olah batin pun masih memiliki sifat-sifat hewani. Itu tidak dapat dihindari. Dan penjinakan bukanlah sesuatu yang dilakukan satu kali saja. Penjinakan adalah proses sepanjang usia, seumur hidup. Jangan kira sekali terjinakkan hewan di dalam diri menjadi jinak untuk selamanya. Tidak demikian. Hewan-hewan buas nafsu, keserakahan, kebencian, kemunafikan, dan lain sebagainya—termasuk boss mereka, majikan mereka yaitu gugusan pikiran yang kita sebut ‘mind’—membutuhkan pengawasan ketat sepanjang hari, sepanjang malam… sepanjang tahun..sepanjang hidup.
Kemudian Sang Prabu memintanya memindahkan “Taman Sriwedari” ke istana, sebuah pekerjaan yang belum pernah dilakukannya. Adiknya Raden Sukrasana membantu dan terlaksanalah tugasnya dengan baik. Saat itu, Raden Sumantri malu diikuti oleh adiknya yang buruk rupa ke istana, dan dia menakut-nakutinya dengan senjata agar tidak mengikutinya. Dan, terlepaslah senjatanya membunuh sang adik tanpa sengaja. Dia telah melupakan nasehat Sang Prabu untuk mengendalikan sifat hewani dalam diri. Dia menyesal dan sejak saat itu berubah menjadi ksatriya yang bijaksana. Atas jasa-jasanya pada suatu saat dia diangkat menjadi patih Kerajaan Maespati dan diberi gelar Patih Suwondo.
Pengaruh Sang Prabu Harjuna Sasrabahu
Bagi Patih Suwondo, Dia Yang Maha Memelihara Alam telah mewujud dalam diri Sang Prabu. Seseorang yang merasa sebagai abdi, sebagai hamba, maka dia wajib patuh terhadap apapun perintah rajanya. Sri Mangkunegara IV memberikan contoh bagaimana seseorang melakukan bhakti kepada seorang Prabu titisan Batara Wisnu. Bagi seorang abdi atau hamba hanya ada ‘one pointedness, eka grata’, satu fokus sehingga dia bekerja tanpa pamrih pribadi lagi. Dalam “bahasa musik karawitan”, seluruh niyaga, penabuh gamelan dengan berbagai alat musiknya telah bekerja menyatu mengikuti alunan suara ‘Sang Pembawa Vokal’ dalam irama yang harmoni. Para perwira, para menteri, para komandan yang patuh pada komitmen sangat diperlukan dalam mempertahankan kewibawaan suatu negara.
Hubungan antara Sang Prabu dengan Patih Suwondo adalah seperti hubungan Guru dan Siswa dalam buku BHAJA GOVINDAM Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Pikiran yang tak terucapkan saja bisa mempengaruhi kita, apalagi yang terucapkan. Setiap pikiran mempengaruhi medan energi sekitar pemikirnya; kemudian siapa saja yang mendekati medan itu akan terpengaruhi. Beruntunglah Patih Suwondo yang berada di sekitar medan pikiran Sang Guru. Kita yang hidup di kota-kota besar dipengaruhi medan pikiran yang bersifat sangat materialis. Selama kita masih bekerja, masih berusaha, interaksi dengan materi, medan energi materialis tidak bisa dihindari. Yang dapat dilakukan hanyalah meminimalkan pengaruhnya. Salah satu di antaranya adalah menjaga keseimbangan antara interaksi dengan dunia dan interaksi dengan diri, dengan batin. Meditasi atau olah batin menyadari adanya pengaruh luar tetapi hal tersebut tidak dapat mengganggunya.
Seorang Guru hanya akan ‘work on us’, bekerja terhadap murid, bila murid membuka diri sepenuhnya. Lapisan pengetahuan ‘semi’, pengetahuan yang belum menjadi pengalaman, justru menutup diri kita. Dan, seorang Guru tidak pernah memaksakan diri. Ia tidak akan memasuki diri murid secara paksa. Ia akan menunggu di luar pintu hati murid, sebelum murid sendiri membukanya dan mengundang dia masuk. Penyerahan diri secara total oleh seorang murid sama sekali bukan untuk kepentingan Guru, tetapi untuk kepentingan dirinya sendiri. Melepaskan keangkuhan, keakuan, ego dan tidak ‘ge-er’ karena ‘baru sekadar tahu’ adalah semata-mata demi kebaikan murid.
Hubungan antara guru dan siswa, antara murshid dan murid sungguh sangat aneh. Tiada kata untuk menjelaskannya. Tidak ada hubungan darah antara mereka. Tidak ada hubungan daging antara mereka. Tidak ada kewajiban bagi mereka untuk saling berhubungan. Tidak ada tuntutan dari tradisi, budaya, agama. Hubungan di antara mereka sepenuhnya karena “kesadaran”. Hanya dilandasi kesadaran. Beruntunglah Patih Suwondo yang membuka diri terhadap Sang Prabu.
Rahwana musuh Prabu Harjuna Sasrabahu
Sejak lahir, keinginan untuk membunuh pun sudah ada dalam otak manusia. Percaya atau tidak percaya dengan teori Darwin, somehow kita mewarisi insting hewani seperti itu dari evolusi panjang. Itu sebabnya, lewat meditasi kita justru membersihkan otak. ‘Deconditioning’ dalam bahasa meditasi, dan detoksifikasi dalam bahasa medis—dua-duanya sama dan untuk memperbaiki kualitas otak. Kualitas otak tidak bisa diperbaiki dengan apa yang disebut “optimalisasi” otak. Tidak bisa dengan sekadar membaca buku atau diberi perintah, “Janganlah kau membunuh”. Keinginan untuk membunuh dan perangkat otak yang dapat mewujudkan keinginan itu harus diolah sedemikian rupa, sehingga keinginan untuk membunuh lenyap, dan perangkat lunak otak pun bersih dari program bunuh-membunuh. Kemudian, pemicu-pemicu dari luar pun tak mampu memicu kita untuk melakukan pembunuhan. BHAJA GOVINDAM Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2004 halaman 60.
Bagaimana seseorang bisa menjadi teroris? Karena insting-insting hewani di dalam dirinya dipertahankan. Tidak ada upaya untuk membersihkannya. Kisah-kisah yang disuguhkan kepadanya lebih banyak bercerita tentang permusuhan, pertengkaran dan kebencian antar kelompok.
Rahwana adalah seorang raksasa yang ingin menguasai jagad ini. Dia mempergunakan kekerasan untuk mencapai obsesinya. Pada saat itu, hanya satu raja yang ditakuti dan yang pernah mengalahkannya yaitu Prabu Harjuna Sasrabahu sang titisan Wisnu. Dengan pertimbangan dia akan dapat menaklukkan Sang Prabu, dengan tipu dayanya, maka fokus utama Rahwana adalah Patih Suwondo yang sakti. Dan, dia kini telah mempunyai ajian ‘rawerontek’ yang membuat dia hidup kembali ketika terbunuh, maka apa yang perlu ditakutinya lagi.
Dalam wayang Jawa dikisahkan Rahwana begitu terobsesi dengan titisan Dewi Widowati dari kahyangan yang lahir di dunia. Dewi Citrawati, istri Prabu Harjuna Sasrabahu adalah titisan Dewi Widowati yang manja sehingga dia pernah meminta dibuatkan taman Sriwedari di istananya, atau pun minta dibuatkan bendungan sekadar bisa mandi bersama dayang-dayangnya. Harjuna Sasrabahu begitu cinta pada sang permaisuri. Untuk itu Rahwana mengatur siasat ‘memlintir’ berita bahwa Sang Prabu telah mati dalam menghadapi Rahwana. Dewi Citrawati melakukan bunuh diri demi mendengar kabar suaminya meninggal. Konon dia akan lahir lagi sebagai Dewi Sinta yang penurut dan tidak merepotkan suaminya, Sri Rama yang juga merupakan titisan dari Prabu Harjuna Sasrabahu. Prabu Harjuna Sasrabahu sangat sedih dan sampai akhir hayatnya tidak mau berperang lagi karena kematian istrinya, pergi mengasingkan diri dan bahkan konon akhirnya memilih mati di tangan Rama Parashu.
Pertarungan melawan Rahwana
Dalam memenuhi kemanjaan Dewi Citrawati, Sang Prabu membendung sungai dan ternyata mengakibatkan banjir daerah Sakya di mana Rahwana sedang membuat pesanggrahan. Rahwana marah dan mengajak Patih Suwondo bertarung di hutan perbatasan.
Malam sebelum pertarungan, Patih Suwondo berada dalam permenungan yang dalam. Hubungan manusia dengan dunia saat kelahiran sangat minim. Satu-satunya hubungan penting saat itu hanyalah hubungan dengan ibu, atau dengan siapa saja yang berperan sebagai ibu. Perekat manusia dengan dunia saat itu hanyalah kasih ibu. Kemudian manusia menambah perekat-perekat baru. Akhirnya terperangkap oleh perekat-perekat ciptaan manusia sendiri. Adakah kebenaran di balik perekat-perekat ini? Adakah sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih berarti, bermakna di balik hubungan-hubungan manusia yang semu? Orang tua bisa wafat, pasangan hidup bisa menceraikan, anak dan saudara bisa pisah rumah. Kawan bisa berubah menjadi lawan. Is there anything more to life? ……… ‘Contemplate to the Essence’, hubungan dengan ‘Gusti Kang Murbeng Dumadi’?…… Tiba-tiba dia teringat kematian adiknya. Sudah seharusnya dia menyelesaikan hutang-piutangnya saat kehidupan ini. Tidak perlu menunggu kelahiran berikutnya. Adiknya berkata, ada saatnya dia akan menagih kematian kakaknya lewat taring seorang raksasa. Dia telah beberapa kali bertarung melawan raksasa dan selalu menang, dia tahu. Alam begitu berkuasanya, tak ada seorang pun yang dapat melarikan diri dari kejaran ‘panah cakra’ hukum karma. Mengapa dia tidak menyelesaikannya, apalagi tindakannya demi membela Ibu Pertiwi? ‘Vande Mataram’, sembah sujudku demi Ibu Pertiwi.
Sebagai ksatriya dia telah memahami petunjuk Narada tentang Bhakti,“Untuk mencintai dengan cara tamas, rajas maupun satva, bermalas-malasan, agresif maupun tenang, engkau harus bekerja keras, berupaya, karena tujuanmu jelas. Dan tujuan itu harus tercapai, sehingga engkau gelisah. Engkau memikirkan hasil melulu. Entah yang kau harapkan adalah kenikmatan sesaat atau kebahagiaan untuk selama-lamanya, harapan itu sendiri menggelisahkan.” “Berbhaktilah tanpa pamrih. Cinta yang tak bersyarat.”
Patih Suwondo mengabdi dengan tulus kepada Gusti yang bersemayam dalam hati nuraninya, maka dia hanya mendengarkan dhawuh, perintah hati nuraninya dan dia tidak memikir lagi tindakannya membawa hasil atau tidak. Dalam dirinya sudah tidak ada pamrih, sudah tidak ada pertentangan batin antara hati nurani dengan egonya.
Dan, keesokan harinya…. dalam pertarungan sengit, Patih Suwondo sempat beberapa kali menebas leher Rahwana, akan tetapi begitu kepala Rahwana menyentuh bumi, dia hidup lagi. Dan, tugasnya sebagai ksatriya adalah terus bertarung demi Ibu Pertiwi.
Bagi Raden Sumantri melepaskan keterikatan berarti melepaskan rasa kepemilikan. Termasuk rasa kepemilikan terhadap nyawanya. Raden Sumantri tidak melarikan diri dari tanggung jawab. Tuhan adalah Pemilik Tunggal semuanya ini. Menganggap diri sebagai pelaku hanya menunjukkan egonya. Dan, Raden Sumantri bertarung sepenuh hati melawan Rahwana sampai hembusan napas yang terakhir. Raden Sumantri hanya melihat Dia, hanya ada Dia. Dia yang dicintainya dan Dia sedang mengulurkan tangan-Nya.
Demikian pemahaman kami sampai saat ini. Terima kasih Guru. Semua terjadi berkat rahmat Guru.